Saturday, January 04, 2014

PERTAMA


Langit berwarna jingga, mentari mulai beranjak pulang. Hujan gerimis perlahan mulai mengusir orang-orang dari jalanan. Sudut kota yang sedari tadi pagi ramai kini mulai lengang. Hujan mulai deras mengguyur seluruh antera kota tua itu. Air mulai mengalir dari selokan menuju hilir. Jalanan semakin gelap tak terlihat tertutup oleh hujan. Suasana langit yang murka tampak dari petir yang menyambar. Angin bertiup kencang menyebar rasa takut. Hari makin senja dan hujan tak juga reda. Hari mulai gelap dan semakin gelap sederetan, lampu kota telah menyala. Tampak sekeruman orang berteduh pada sebuah halte yang kumuh oleh coretan dari tangan-tangan yang tidak bertanggunga jawab. Nampak dari mereka masing-masing, menyelamatkan barang bawaan dari air mata langit yang turunnya tak pernah terduga.
Waktu kian berlalu sinar lampu kota mulai terlihat jelas, langit enggan mengeluarkan air matanya lagi. Orang-orang mulai berhamburan dari tempatnya berlindung. Jalannan mulai ramai oleh oraang-orang yang hendak pulang meski, hujan masih menyiskan butiran gerimis dan air yang menggenang. Sepasang kaki mungil dari gadis yang baru mencantumkan namanya di SMA ini melangkah pergi  dari halte. Ia berjalan menyusuri jalanan yang masih basah oleh hujan dan menghilang di sebuah gang. Ia berjalan perlahan menghindari kubangan air yang dalam namun terlihat dangkal menuju rumah sederhana di ujung gang sempit itu. Gang yang hanya bisa dilalui oleh 1 sepeda motor itu, dipenuhi oleh puluhan kepala keluarga. Ya. . . .begitulah kondisi kota yang telah sesak oleh penduduk.
Gadis berwajah manis dan berambut ikal sepinggang itu bernama Dewi, ia gadis asli kelahiran kota itu. Gang tempatnya tinggal menjadi saksi bisu kehidupannya hinnga saat ini. Ia adalah seorang gadis yang terkenal baik di tempatnya. Ia adalah gadis yang tergolong pandai di sekolahnya, wajahnya yang lugu tak pernah memperlihatkan kemampuannya. Parasnya memiliki aura yang berbeda dibandingkan dengan gadis-gadis lain yang seusia dengannya. Ya. . .itulah Dewi. Mata bola dan bulu mata lentik yang dimilikinya menambah cantik parasnya.
***
Hari makin malam dan Dewi tiba di rumah sederhananya, senyum manis tercuat di wajahnya ketika membuka pintu dan melihat ibunya duduk memangku kaki di ruang tamu
“berteduh dimana kamu wi?, sudah bersihkan badanmu dan segeralah makan” tutur kata sang ibu mengiringi langkah Dewi. Ia hanya tersenyum dan mengangguk manis membalas perintah ibunya. Di belakang ia melihat ayahnya yang sedang menggebu dengan cerutunya.
“baru pulang ya. .” dengan senyum ramah ayahnya berkata padanya.
“ia” jawabnya singkat dan manis. Meski ia ada dikeluarga yang sederhana namun ia selalu merasakan kebahagian. Orang tuanya selalu memberi perhatian padanya. Meski ia terlahir sebagai anak sulung namun, orang tuannya adil memberikan perhatian. Bergegas ia melepas penat dengan guyuran air segar. Sekujur tubuhnya yang lelah telah segar kembali. Karna hari mulai gelap iapun tak mau berlama-lama bermain dengan air. Angin semilir menusuk tulang, hawa dingin yang sedari tadi menghantuinya semakin terasa dingin bersama waktu yang semakin malam. Gadis yang mulai dewasa ini menuju meja makan setelah puas dengan dinginnya air. Telah siap sepiring nasi lengkap dengan lauk-pauk untuknya.
“Wi, cepat dimakan nasi yang sudah ibu siapkan. .!!” terdengar suara ibunya dari balik pintu dapur.
“iya bu” Dewi membalas ibunya. Dengan perut yang sedari tadi sudah bernyayi merdu, ia menikmati masakan ibunya itu. Lahap benar ia mengkoyak makanan di mulutnya. Kini perutnya sudah terisi penuh dengan masakan ibunya itu. Dewi beranjak dari tempatnya dan menaruh piring kotor di dapur serta membersihkannya.
***
Dewi merasa capek dengan aktifitasnya hari ini. Ia merasa sepasang kakinya tak mampu menobang berat tubuhnya. Jalannya sudah sempoyongan bak orang yang telah meneguk sebotol anggur. Dengan mata setengah terpejam ia merebahkan seluruh tubuhnya di pulau kapuk yang sedari tadi menunggunya. Jarum jam di dindingnya terus berputar, dan Dewi makin tak mampu menahan rasa kantuknya. Terlelap ia dalam istirahat malamnya, terhanyut ia pada sebuah kisah di mimpinya. bayangan bunga tidur itu menemani Dewi hingga mentari mulai kembali ke singgasana istimewanya. Sungguh terjaga tidurnya mala mini.
Malam makin larut, malam mulai berganti menjadi pagi. Hujan rintik turun dengan hawa dingin yang menusuk kulit. Gerimis perlahan menjelma menjadi hujan yang cukup membuat malam semakin dingin layaknya di kutub. Petir menyambar dengan kejamnya, Dewi terbangun oleh suara pertir yang menggelegar itu. Detak jantungnya naik turun dikagetkan oleh amarah sang langitmalam ini. dengan mata yang dirasanya masih cukup berat ia menyingkap tirai jendela dan mengintip bulan. Nampaknya bulan telah bersembunyi di balik awan hitam. Petir menyambar berulang kali, melukiskan cahaya listrik di angkasa. Perlahan ia menutup tirai jendelanya dan kembali melanjutkan tidurnya. Jarum jam menunujuk angka 01:00, Dewi justru tak bisa melanjutkan mimpi indahnya. Suara petir yang menyambar menaungi pikirannya. Ia tetap berusaha memejamkan mata meski dirasa begitu berat baginya. Rasa kantuk telah sirna dari dirinya, namun ia tetap merebahkan tubuhnya sembari menunggu mentari menghapus air mata dan gejolak langit.
Sepertinya hawa dingin dan detak jarum jam yang terus berputar mampu menghipnotis Dewi, sehinnga ia telah kembali bersama mimpi indahnya. Hingga pagi menjelang ia masih telelap, suara gagah ayam tetangga tak mampu membangunkan tidurnya. Gadis kecil itu Nampak polos dengan mata terpejam. Mentari kian meninggi dan Dewi belum juga tesadar dari tidurnya. Ibunya menerobos pintu kamar yang masih tertutup rapat tanpa suara, menepuk pipi halusnya dan membuyarkan mimpi Dewi. Dengan mata yang masih seperti perangko dan amplopnya bergegas ia mengejar mentari yang belum begitu jauh.
Telah siap ia dengan segala sesuatunya, ia keluar dari rumahnya dan menyusuri jalannan ditemani sinar surya yang melintas di sela-sela pohon. Langkah kakinya yang secepat angin mengejar waktu. Matanya cepat mengamati hiruk-pikuk kota tua itu. Gerbang sekolah telah menanti kedatangannya, pintu kelas telah terbuka lebar untuknya. Ruang kelas telah penuh oleh murid yang siap menerima pelajaran, tersisa sebuah bangku
kosong di sudut depan kelas. Ya itu tempat Dewi. Waktu kian berlalu, bel telah berdering guru telah siap dengan lembaran ilmu dalam genggaman. Disaat semua siswa siap di bangkunya masing-masing terdengar langkah kaki yang beriringan bergantian mengukir sebuah nada yang melukis sebuah pertanyaan
“siapa yang bersama dengan guruku. . ???” semakin dekat dan semaki mendekat. Terlihat paras menawan dari seorang siswa baru, tinggi tubuhnya menambah daya tarik dilawan jenisnya. Mata dewi menyorot seluruh aura yang keluar dari siswa itu. Tetak jantungnya tiba-tiba tak menentu, entah bimbang atau ragu yang tertanam di benaknya. Gurunya memperkenalkan seorang siswa baru itu.
“oh. . Yoda, namanya” gumamnya dalam hati. Nafasnya menderu tak teratur seperti habis berlari ribuan kaki jaraknya. Sebah senyum terlukis di wjah manisnya.
“Yoda kamu duduk di belakang gadis itu” sembari menunjuk Dewi, untuk mempertegas perintahnya. Yoda melintasi bangku Dewi, detak jantungnya kian berpacu dengan waktu. Nampaknya gadis lugu itu sedang jatuh hati pada Yoda. Waktu tetap berlalu, seakan tak peduli pada seorang insan yang tengah menemui cinta pertamanya. Hari makin panas pelajaran telah berlalu, tak terasa bel akan berbunyi 5 menit lagi. Semua berkemas bersiap untuk beranjak pulang termasuk Dewi.
Bel berbunyi dan semua kaki berhamburan meninggalkan gedung ilmu. Dewi yang berjalan perlahan keluar dari gerbang sekolah terkagetkan oleh teguran Yoda. Nafasnya menderu, hanya senyum yang terguris di wajahnya. Hanya sejenak, Yoda berlalu meninggalkannya dan memasuki kendaraan umum.
Hingga sampai di rumah Dewi masih terbayang dengan sapaan manis dari seorang Yoda. Mentari makin turun, langit melukiskan guratan jingga, makin petang dan bayangan pohon mulai hilang. Dewi berniat untuk belajar mala mini, menambah ilmu sebelum hari esok. Lembar demi lembar materi hanya dibolak-balik saja, tak jelas dengan apa yang dilakukannya.
“ya. . Tuhan, kenapa aku tak bisa konsen K” bayangan Yoda mengusik pikirannya. Gadis lugu itu kini mulai merasakan cinta pertamanya namun, ia masih menepis perasaannya. Bayangan Yoda yang sering hinggap di angan-angannya tak begitu dianggap olehnya. Tapi yang namanya cinta, apa lagi cinta pertama pasti ada saja perasaan janggal yang menghantuinya.
***
          Hari-harinya dilalui denga kegelisahan yang tak menentu saat bertemu Yoda. Ia merasa semakin dekat dengan remaja manis itu. Hari ini langit menampakan senyumnya lebih awal, meski jarum jam masih menunjuk pukul 06:00 namun, mentari telah membumbung tinggi dengan angkuhnya. Langit cukup cerah secerah senyum Dewi pagi ini. dewi merasa siap hari ini, tak ada yang mendorong perasaannya untuk merasa bahagia. Begitu saja setiap saat hingga mungkin seminggu berlalu
          Suatu ketika, saat matanya enggan untuk terpejam meski bulan telah menegurnya untuk bermimpi, ia justru termenung menatap bintang yang jauh dan terkesan bertengger di ranting pohon. Terbesit sebuah angan dalam benaknya, ia merasa angin mala mini telah menyadarkannya, ia pun bangkin dari jeruji kegalauan yang selama ini mengurungnya.

          “untuk apa aku memikirkan orang, yang belum tentu memikirkanku” ia bergumam malam itu, dan sejak saat itu ia lebih memilih untuk menjalani hari-harinya tanpa berharap akan hal yang belum tentu mungkin ia dapatkan.

Karenamu

Tersudut Olehmu


Lemah aku menatapmu
Tersudut oleh waktu, terdiam dalam goresan rindu
Dikala waktu membawa namamu
Aku tersipu, . . .
Langkahmu tegak menantang langit
Detak jantung selalu terpacu, mendengarmu
Aliran darah, kian deras bersama waktu
Fatamorgana nyata semakin jelas di matamu
Dan aku. . . . .
Mampu menghapus sendu dengan senyummu
Guratan jingga sirna dengan lambaian tanganmu
Aku kian terpaku bersama bayanganmu
Lentera jingga mengukir cinta
Gejolak senja telah sirna oleh bayanganmu

Lentera rindu, . . . . . . .
Membuka sebuah cakrawala fatamorgana
Mengantarkanku dalam sebuah harapan
Harapan, yang ku pendam dalam sudut hati


Wednesday, January 01, 2014

Hanya Kamu yg Tahu

RAHASIA

Terukir sebuah sajak dalam langkah
Bait indah tersimpan oleh waktu
Nyata dalam sebuah fatamorgana
Sebuah kata tertanam dalam hati
Guratan sederhana dan berarti
Menyatu dalam aliran darah dan nadi
Detak jantung mengukir irama rindu
Oleh sebuah langkah. . .
Ku pertegas rasaku dengan senyumman
Mesra membelai raga saat menutup mata
Ku simpan dalam-dalam
Bayanganmu dalam mimpi malamku
Biarkan ini. . . .

Menjadi rahasia waktu