Malam telah menjelma menjadi pagi yang
memaksa sang surya keluar dari sangkarnya. Pagi yang perlahan terusir oleh
terik mentari mengawali kehidupan semua insan hari ini. Semua orang mulai
beraktifitas diiringi naiknya sang surya.
Selaras dengan Isabel yang kini mulai
beranjak dewasa seiring dengan bergantinya hari. Nampaknya waktu dan pengalaman
yang dilalui telah mengajarinya arti kehidupan. Kesabaran untuk menghadapi
masalah telah melekat pada dirinya. Ya ....... itulah Isabel. Kepribadian lemah
lembut itu, telah membuatnya mendapatkan seseorang yang selama 3 tahun terakhir
ini menemani dan menerima seluruh ungkapan hatinya.
Roda kehidupan terus berputar
mengiringi waktu yang tak pernah berhenti, keduanya berjalan searah seakan
mengungkap sebuah kisah. Dibalik sifat kalemnya yang amat disegani, Isabel
menyimpan sejuta goresan dalam alur kehidupannya. Isabel bukanlah tipe orang
yang mudah untuk mengemukakan isi hatiya, ia hanya akan bercerita kepada
orang-orang yang dipercayainya. Hari-harinya dilalui dengan senyum indah yang
menghiasi wajahnya. Tak pernah sedikitpun nampak goresan sendu di wajahnya. Ritme
langkahnya yang selalu tegak mengelabuhi setiap mata yang melihat, semua orang
pasti berfikir bahwa Isabel tak pernah punya masalah.
Ya......., begitulah orang, mereka
bebas berargumen sesuka hati, lagi pula tak ada yang mengenakan tarif untuk
berargumen.
J J J
Sinar mentari membelai dedaunan yang
basah oleh embun dan membuka tirai waktu, mengajak semua makhluk untuk beranjak
dari pelabuhan malamnya. Dipagi yang cerah ini Isabel tak juga bergegas untuk
beraktifitas, padahal mentari sudah menampakkan senyum sinisnya bagi mereka
yang bermalas-malasan. Ia terdiam di balik jendela kamarnya yang masih basah
oleh embun. Menatap bunga warna-warni di halaman membuat angan-angannya
melayang jauh bersama mentari yang makin meninggi. Entah apa yang ada di
benaknya namun, yang jelas suasanya pagi ini membuatnya mengulang memori yang
terdahulu. Sebuah kenangan masa lampau yang baginya tak akan terlupakan itu
sejenak mengisi kekosongan otaknya dan menyita seluruh waktunya dipagi ini. Tanpa ia sadari sebuah senyum manis menghiasi
wajahnya yang masih terhanyut oleh rayuan angan-angan. Terpukau oleh bayangan
semu yang tak tau kapan akan berakhir. Detak jarum jam di kamarnya tak
sedikitpun menggoyahkan lamunannya, Isabel justru makin larut dalam imajinasi.
Ditemani kicauan merdu burung pipit dipagi itu, lamunannya menyeberang jauh
diantara samudra masa lalu dan membuka sebuah kisah dimasa merah putihnya. Kisahnya
berawal saat ia duduk di bangku kelas dua SD, ia adalah seorang murid baru.
Pada masa itu ia mulai mengenal seseorang bernama Ryan yang kini sesalu mengisi
hari-harinya alias pacar J.“Awiting tresno jalaran
soko kulino” mungkin kata-kata itu sesuai untuk dua sejoli ini. Ya . . . . . .
bagaimana tidak ??? dua insan yang dulunya sering bertengkar layaknya Tom dan
Jerry, kini menjadi sepasang hati yang saling memberi. Mungkin itu adalah
bagian takdir.
Mungkin unik jika menelusuri kisah
Isabel dalam romansa asmara, embtt.... mungkin mirip sineteron J. Di bangku sekolah dasar dulu tak ada kata suka di hati
Isabel untuk Ryan, bahkan yang ada di hatinya pada saat itu kesal, dan benci
pada Ryan. Hingga dimasa SMP mereka tak pernah terlihat akur. Suatu ketika saat
pendaftaran SMP dengan tidak sengaja Ryan berada di belakang Isabel yang waktu
itu sedang melihat pengumuman. Setelah melihat pengumuman Isabel berjalan
mundur tanpa melihat orang yang ada di belakangnya dan tiba-tiba terdengar
suara
“ati-ati kalau jalan, udah bosen jalan
maju ya mbak” teriak Ryan. Isabel kemudian menoleh dan meminta maaf namun, Ryan
hanya acuh tanpa melihat Isabel. Sikab jutek Ryan saat itu hinnga kini masih
mengundang senyum di benak Isabel. Segores kenangan masa lalu itu tiba-tiba
sirna terusir oleh kerasnya suara ibu Isabel yang meneriaki Isabel untuk segera
bersiap berangkat ke sekolah. Bayangan indah yang sejenak bernaung telah pergi
ke tempatnya berasal. Meski telah tersadar dari lamunannya, guratan manis dari
sebuah kenangan itu masih menyisakan senyum di pipinya. Dengan keadaan hati
yang tergugah oleh kenangan ia bangkit dari lamunan dan bersiap untuk melanjutkan
aktifitasnya.
Gadis yang kini telah menjalani masa
SMA ini, berangkat lebih siang dari biasanya. Ia mulai mengayuh sepedanya
menyusuri jalanan yang mulai bising oleh kendaraan bermotor. Sekitar 10 menit
laju sepedanya berpadu dengan aktifitas di jalanan hingga sampai di sekolahnya
yang jaraknya cukup jauh dari rumah. Isabel bergegas masuk ke ruang kelas, dan
siap menerima ilmu hari ini. Mata pelajaran pertama Isabel adalah matematika,
dengan guru favoritnya yaitu Pak Muklis. Isabel adalah gadis yang terbilang
pandai di kelasnya, dan sering mendapat pujian manis dari berbagai guru bidang
studi. Mata pelajaran matematika telah berjalan 1 jam dari bel masuk, Isabel
tak bisa konsentrasi dengan serius lagi. Pikirannya menjurus
pada kisah masa lalu yang dikenangnya
tadi pagi. Angan-angannya kembali berkelana liar, seakan sedang mencari sebuah
titik kebahagiaan.
“Cinta itu seperti matematika yang
rumit namun pasti”. Gumam Isabel mengagetkan Pak Muklis yang sedari tadi mengamati
Isabel.
“Apa ini matematika kok disamakan
dengan cinta, hayo melamun ya...” teriak Pak Muklis. Serentak semua mata yang
ada di kelas itu melihat Isabel yang wajahnya mulai memerah. Dengan tersipu
malu Isabel menjawab pertanyaan dari Pak Muklis dan berusaha membuyarkan
tuduhan itu.
“Enggak pak . . . . .itu tadi Cuma
iseng” bantah Isabel. Pak Muklis hanya tersenyum menanggapi muridnya yang satu
ini.
Tak terasa jam pelajaran matematika
telah berakhir, berganti dengan pelajaran kimia. Kebetulan guru mata pelajaran
kimia sedang ada keperluan mendadak di luar kota sehingga Isabel dan teman
sekelasnya mendapat bonus jam kosong hari ini. Namanya juga pelajar di mana-mana
kalau jam kosong pasti senang, ada diantara mereka yang menuju kopsis untuk
mengganjal perut, ada yang asyik dengan media sosialnya, atau ada yang sedang
seru menggosip. Bertolak belakang dengan aktifitas teman-temannya Isabel justru
terdiam di sudut kelas memandang detak jarum jam dengan tatapan kosong, seolah
akan mengungkap rahasia besar di balik lentera waktu. Gambaran indah dalam
angan-angannya kembali merasuki pikirannya. Lama ia terpasung oleh waktu yang
menjebaknya untuk melanjutkan kenangan-kenangan waktu itu. Lamunannya kali ini
mengundang perhatian Ani, teman baiknya. Ani merasa heran dengan sahabatnya, ia
melihat senyum Isabel yang kian merekah di tengah samudra imajinasi.
“hayyo nglamun apa kamu?? Hayo ngaku. . .”
bisik Ani secara perlahan namun cukup membuyarkan lamunan Isabel. Isabel tak
menjawab sepatah katapun, ia hanya melontarkan sebuah senyum untuk Ani. Nampak
di pipi Isabel sebuah senyum yang tak
mampu membendung angan-angannya. Jelas hal itu semakin membuat Ani semakin
penasaran. Hingga sekolahnya berakhir Isabel tak sedikitpun mengungkap
lamunannya pada Ani, jika disinggung mengenai hal itu Isabel hanya tersenyum
layaknya kuncup bunga yang enggan untuk mekar karena malu oleh seekor kumbang.
Seusai bel pulang berdering, Isabel
bergegas untuk pulang. Ia mengayuh sepedanya lebih lambat dari biasanya, hingga
sampai di rumah. Sesampainya di rumah Isabel segera menyegarkan diri dengan
guyuran air wudhu, dan segera melaksanakan sholat ashar. Dengan khusyu' dan
tenang ia menjalankan ibadahnya, suara bergeming yang mengitarinya sama sekali
tak mampu mengusiknya. Selepas ia menjalankan sholat, ia seakan sadar dengan
apa yang terjadi pada dirinya hari ini.
Ia mulai memikirkan hal apa yang
merasuki pikirannya sejak tadi pagi. Lama ia terdiam dan tertunduk dalam
keadaan suci di tempat sholatnya, ia mulai merenungi semua lamunannya, bayangan
indah mulai berganti menjadi bayangan jingga. Guratan manis kenangan asmara itu
perlahan sirna diterpa angin kegalauan yang melandanya disaat hari menjelang
senja. Jalan pikirannya berubah jadi tak menentu, tak jelas arah dan tujuannya.
Ia merasa seperti sedang berada di sebuah tempat yang kosong. Paradigmanya
seperti terperangkap dalam rimba masa lalu.
“Ya. . . . Tuhan, L apa-apaan ini, aku mengenang masa laluku yang indah
namun, aku hampir saja melupakan masa depanku”. Suaranya lirih tetapi cukup
menyayat hati, menjatuhkan air mata yang lama terdiam di mata indahnya. Air
matanya kian berderai senada dengan isi hatinya yang tercabik-cabik.
“Apa arti sebuah cinta yang suci dari dua
sejoli, jika tidak direstui” gumamnya. Semakin deras air matanya bercucuran.
Pelangi yang sedari tadi pagi mengiasi matanya telah hilang bersama waktu.
Hingga malam menjelang irama sendu yang menghantui pikirannya tak juga sirna.
Bulan telah menampakkan cahaya
damainya di seluruh sudut kota. Daun-daun telah berkilauan memantulkan cahaya
bulan yang indah. Bunga-bunga telah menutup kuncupnya seolah ada peri yang
tertidur di dalamnya. Semerbak wangi bunga malam yang khas beriringan dengan
keindahan bulan malam ini. Sungguh indah suasana malam namun, tak seindah
perasaan Isabel. Meski malam mulai larut, Isabel tak juga beranjak tidur. Ia
terus memikirkan sebuah restu dari cinta tulus yang sama sekali belum
ditemuinya. Ia merasa berat melakoni alur hidupnya jika sesekali ia teringat
akan hal itu.
“Sudahlah Isabel, kamu bisa,. . biar
waktu yang mengungkap semua ini” terbesit sebuah semangat pada dirinya. Meski
air mata masih singgah di pipi manisnya namun, ia berusaha tersenyum. Ia
berusaha tegar menghadapi masalahnya. Waktu makin berlalu jam dinding di
kamarnya telah menunjuk angka 12. Sedikit ia melirik waktu di sudut kamarnya,
dan beranjak pergi menemui bulan yang sedari tadi tersenyum di taman.
“Mungkinkah. . .
Hidupku ini sepertimu. . .
Bulan . . .
Kau selalu tersenyum, meski. .
Kau tak kan mungkin bersanding dengan mentari ”
Kata indah itu terlontar lirih dari
mulutnya. Seberkas semangat yang mulai tumbuh, telah berubah menjadi linangan
air mata. Angin yang berhembus mesra malam ini, membelainya dengan lembut dan
menutup matanya secara perlahan. Isabel bangkit dan menuju kamarnya. Ia
berbaring di pulau kapuknya dan memejamkan mata. Isabel berusaha menghapus
angan-angan yang baginya terlalu jauh melayang. Sunyi sepi malam ini
mengantarkan tidurnya.
JJJ
Tak terasa pagi sudah mengintip malu
di balik gunung, sang surya mulai merangkak naik. Isabel terbangun dari
tidurnya, meninggalkan mimpi yang menghampirinya. Hari telah berganti Isabel
dengan cekatan memulai aktifitasnya. Sengaja ia melakukan hal yang membuatnya
cukup sibuk, agar ia bisa lupa dengan apa yang terjadi padanya kemarin. Meski
bulan belum sepenuhnya pergi, Isabel telah siap dengan persiapannya menyambut
hari ini. Jalan pikirannya kuat menggenggam sejuta harapan bahagia dimasa
depan. Bunga di hatinya makin bersemi tersiran embun pagi yang sejuk. Dengan
senyum ia mengawali harinya meski, masih telihat lebam di matanya bekas air
mata tadi malam.
Tertunduk ia sendiri meratapi apa yang
telah terjadi. Harapan yang digenggamnya menghiasi perasaannya yang dibalut
senja. Perasaannya sungguh tak menentu terkadang ia bimbang dan terkadang ia
bersemangat. Hatinya seperti teriris oleh pisau belati yang setajam pedang. Seperti
seekor kumbang yang tersesat di lautan mawar berduri, itulah isabel dan
angan-angannya.
Suara burung merdu mulai terdengar dari balik pohon.
Kicauannya seakan memberikan sebuah irama surga bagi Isabel. Ia menarik nafas
panjang dan menghelanya dengan mata terpejam.
“biarkanlah waktu yang akan menjawab
harapanku” kata-kata itu tertanam dalam benaknya yang sudah penuh dengan
lamunan. Senyum keabadian mulai merekah indah di sudut wajahnya. Warna bunga
warna-warni menghapus sendu dalam benaknya. Hujan yang menjadi gejolak di hatinya
telah sirna tergerus waktu. Bayangan semu telah menjadi bayangan nyata detengah
guratan jingga.
Langit mulai melukis senyum cerah
secerah mentari yang mengamatinya di ujung ranting. Guratan senja yang masih
sesekali melintas di benaknya tak lagi ia hiraukan. Langkahnya semakin tegak
menata masa depan. Badai yang menerpa jiwanya belum berlalu, hanya saja pergi dan
tak tau kapan akan kembali.